bapak berkumis

“Minta bapaaaaaakkk..!!!”

Teriak Fadil. Ini sudah ke sepuluh kalinya dalam satu hari ini dia berteriak dengan keras begitu. Aku hanya memandangnya dengan wajah kasihan. Untunglah teriakannya kali ini tidak dibarengi dengan tangisan atau rengekan menyebalkan khas Fadil. Dia cuma berteriak keras saja seperti itu.

“Bu….. Minta bapaaaaakkk…!!”

Nah ini menjadi yang kesebelas kali.

Aku berhenti memotong rumput di halaman. Kurangkul Fadil dan dengan satu gerakan, kududukkan Fadil di pangkuanku. Kuusap-usap kepalanya yang plontos.

“Fadil mau bapak?” tanyaku.

Fadil memutar kepalanya, pura-puranya dia memelototiku, padahal dia hanya berusaha seperti itu. Matanya yang kecil sipit bukanlah mata yang bisa melotot.

“Aku.. mau.. bapak!”

Kembali kuusap-usap kepalanya. Fadil melipat kedua tangan kecilnya di depan dadanya. Mulutnya manyun.

“Fadil mau bapak kayak gimana?” tanyaku.

Tiba-tiba Fadil meloncat dari pangkuanku.

“Mau yang bisa begini…!!!”

Dia mempraktekkan gaya seorang pemain bola yang akan memasukkan gol ke gawang lawan.

“Hoooo.. mau yang bisa main bola ya? Terus mau yang seperti apa lagi?”

Fadil mempraktekkan gaya seorang yang sedang membawa sesuatu di punggungnya.

“Mau yang bisa gendong Fadil di belakang? Wah boleh juga.. Terus mau yang kayak gimana lagi?”

Fadil mengerutkan keningnya. Sekarang dia bergaya seperti sedang naik mobil.

“Oh? Fadil mau bapak yang jadi sopir angkot?”

Fadil manyun. “Bukan Bu! Mau yang bisa nyetir. Ngeeeeeeeeeeengg… ngeeeeengggg..”

Nah sekarang dia malah lari-lari kesana-sini sambil kedua tangannya lurus ke depan seolah sedang pegang setir mobil. Aku hanya menggeleng lemah. Dasar Fadil, mulai asik lagi dengan dirinya.

Sebelum hasil rumput-rumput yang kupotong itu makin berantakan gara-gara kakinya Fadil, aku buru-buru memasukkan rumput-rumput tersebut ke dalam kantong plastik. Fadil masih asik main sendiri, aku kembali melanjutkan memotong rumput.

Esoknya, teriakan Fadil bertambah satu kata.

“Minta bapak berkumiiiiiisssss…!!”

Aku sedang memasak tumis kangkung kesukaannya ketika dia berteriak seperti itu. Hari ini baru satu kali dia berteriak model begitu. Kudiamkan saja. Toh nanti dia lupa seperti kemarin.

“Bu, minta bapak berkumiiiiissss…!!”

Aku memandangnya dengan muka tidak mengerti. “Kok beda dengan yang kemarin?”

“Minta bapak berkumiiiisss…!!”

Aku menghela napas. Tumis kangkungya sudah jadi. Kumatikan kompor dan mengambil piring.

“Nih, maem dulu.. pake kangkung kesukaan kamu ni..”

Mata Fadil berbinar.

Kuberikan satu piring nasi beserta tumis kangkung padanya. Dia menyambut makanannya dengan senyum lebar.

“Tapi habis maem, minta bapak berkumis ya Bu..”

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Dasar Fadil.

“Iya, nanti dikasih bapak berkumisnya. Maem dulu.”

Dan kembali seperti biasa, sehabis makan, dia malah berlari ke arah TV,malah asik dengan acara TV favoritnya.

“Buuuuu!!!! Minta bapak berkumis pake seragaaaaaaammm!!!”

Ini terjadi di hari berikutnya. Tambah lagi kata-katanya. Dan teriakan ini ditambah dengan rengekan. Sudah sekitar dua puluh kali hari ini. Dan hebatnya dia bisa ingat terus.

“Buuuuu…. Minta bapak berkumis pake seragaaaaaaammm….” Dasterku ditarik-tarik oleh tangan-tangan kecil Fadil.

Hari sudah malam, aku sudah mulai lelah.

“Yuk, kita tidur dulu. Besok kamu kan sekolah…” ajakku. Fadil melipat kedua tangannya di depan dada. Mulutnya manyun.

“Nanti kita cari bapak berkumis pake seragamnya besok ya. Sekarang tidur dulu. Kalau tidurnya terlalu larut, besok ngantuk loh di kelas, pelajarannya ga masuk deh ke otaknya..”

Fadil masih manyun saja. Dia berdiri di depanku. Gaya khasnya kalau sedang ngambek.

“Ya sudah. Ibu saja yang tidur.” Kumatikan seluruh lampu. Tampaknya dia mulai takut. Waktu kurebahkan kepalaku di atas kasur, aku merasa Fadil juga ikut tidur di sebelahku. Tubuhnya miring meringkuk ke arahku. Aku tersenyum, kupeluk badan kecilnya, dan tak lama napasnya sudah teratur.

—–

“Bu!! Minta bapak berkumis pake seragaaaaaaammm!!!!”

Aku terkaget-kaget ketika Fadil berteriak. Kami sedang di angkot dalam perjalanan pulang dari TK tempat Fadil sekolah. Tiba-tiba dia berteriak seperti itu. Tadi diam saja, kok ingat lagi. Kali ini juga kata-katanya tidak bertambah.

“Ayo Bu… Kan ibu janji semalam…”

Bajuku ditarik-tarik. Oh iya ya, aku bicara begitu ya.

Penumpang lain di dalam angkot melihat ke arah kami. Hah.. Fadil Fadil…

“Ya udah. Sekarang kita cari ya.”

“Hore!!!” Wajah Fadil senang sekali. Aku berusaha tidak mempedulikan tatapan mata penuh tanda tanya penumpang lain di angkot. Untunglah tujuanku sudah dekat.

“Kiri, pak. Yuk Fadil kita turun.” Fadil terlihat bingung ketika aku mengajaknya turun dari angkot. Dengan dahi berkerut, dia menuruni angkot dengan hati-hati.

“Bu… kok kita turun disini??”

“Loh katanya mau bapak berkumis pake seragam… Disini ada kan..”

Fadil masih menatapku dengan bingung.

Didepan kami terpampang kokoh tulisan TPU. Kami memasuki TPU itu dengan saling diam. Fadil masih tidak mengerti. Ketika sampai di sebuah kuburan, aku jongkok disampingnya.

“Sini, jongkok sebelah ibu, kita baca doa buat bapak.”

Fadil menggigit telunjuknya. Dia masih berdiri.

“Katanya mau bapak berkumis pake seragam… Dulu kan bapak suka pakai seragam, berkumis juga kan? Masak Fadil lupa…”

Lalu tiba-tiba mulut Fadil menganga. Sepertinya dia sudah mengerti. Dia jongkok disampingku. Kami berdua lalu memanjatkan doa bersama.

Penulis: bojongviews

I'm a story writer. Sometimes I write when I just want to. If you have written, sometimes you can lose track of time and forget to work. You can reach me on email lisdaiii@gmail.com and on Linkedin https://www.linkedin.com/in/lisdai/.

%d blogger menyukai ini: